Politik Keluhan di Era Segalanya Gratis



Suara Genz - Peluncuran program Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh Presiden Prabowo kembali menjadi bahan perdebatan publik. Tidak sedikit yang mengkritik teknis pelaksanaannya, mulai dari soal pendanaan, distribusi, hingga kualitas layanan. Kritik tentu sah dalam demokrasi. Namun ironisnya, di negeri yang angka stuntingnya masih tinggi dan ketimpangan gizi masih menjadi masalah serius, program yang memberikan manfaat langsung justru lebih sering disambut dengan keluhan ketimbang apresiasi. Gratis pun masih dibilang kurang.

Dari perspektif kebijakan publik, langkah kecil sering kali lebih penting ketimbang menunggu solusi ideal. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, melalui capability approach menekankan bahwa pembangunan harus dilihat dari seberapa besar ia memperluas kebebasan nyata warga negara—seperti akses pada pangan, kesehatan, dan pendidikan. MBG memang belum sempurna, tetapi jelas menambah kemampuan anak Indonesia untuk belajar lebih baik, tumbuh lebih sehat, dan pada akhirnya berkontribusi bagi bangsa.

Sayangnya, ruang publik kita terlalu sering terjebak dalam apa yang bisa disebut politik keluhan. Setiap program hanya dilihat dari kekurangannya, bukan substansinya. Sikap ini sejalan dengan apa yang disebut para psikolog sebagai scarcity mentality—pola pikir kelangkaan yang membuat masyarakat terus-menerus merasa tidak cukup, sehingga gagal memanfaatkan peluang yang ada. Riset dalam psikologi positif menunjukkan sebaliknya: rasa syukur justru berhubungan erat dengan ketahanan, kesejahteraan, dan produktivitas. Bangsa yang terlalu sibuk mengeluh berisiko terjebak dalam stagnasi, bukan kemajuan.

Nilai ini sebenarnya sudah lama tertulis dalam ajaran agama. Al-Qur’an dengan tegas menegaskan:

“Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Syukur bukan sekadar urusan moral pribadi, melainkan fondasi keberlimpahan kolektif. Bersyukur atas langkah kecil membuka jalan bagi perubahan lebih besar; sebaliknya, budaya tidak bersyukur justru menutup peluang dan mempersempit rezeki.

Tentu, kritik konstruktif tetap penting untuk memperbaiki program MBG agar lebih efektif, transparan, dan tepat sasaran. Tetapi kritik berbeda dengan sinisme. Kritik membangun, sinisme menghancurkan. Jika masyarakat hanya pandai menuntut tanpa pernah belajar menghargai, maka kebijakan apa pun akan tampak kurang, dan bangsa ini akan terus berputar dalam lingkaran ketidakpuasan.

Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih besar adalah: apakah kita ingin menjadi bangsa yang selalu mengeluh, atau bangsa yang tahu cara bersyukur lalu bergerak maju? Program MBG mungkin bukan jawaban akhir, tapi ia adalah langkah nyata. Dan dalam politik pembangunan, langkah nyata selalu lebih berharga daripada sekadar retorika kosong.
Previous Post Next Post