CBI Genjot Skoring Kredit Fintech



Suara Genz - Di tengah melonjaknya nilai outstanding pendanaan fintech lending yang menembus Rp80,9 triliun per April 2025, tantangan industri tak lagi sekadar soal pertumbuhan, melainkan juga soal kualitas dan ketahanan risiko.

Rasio kredit bermasalah (TWP90) yang tercatat 2,93% mendorong pentingnya evaluasi ulang terhadap praktik penilaian kelayakan pinjaman, terutama melalui pemanfaatan credit scoring yang berbasis data,akurat, dan real-time.

Isu ini menjadi isu utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rabu (11/6) di Royal Tulip Gunung Geulis, Bogor. Mengusung tema “Penguatan Kualitas Penilaian Pendanaan Penyelenggara LPBBTI”, FGD ini mempertemukan regulator, penyelenggara fintech lending (LPBBTI), dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) untuk menyamakan visi tata kelola risiko pembiayaan digital.

CBI: Credit Scoring Tak Lagi Statis, Harus Dinamis dan Terintegrasi Dalam forum tersebut, Presiden Direktur PT Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI), Anton K.

Adiwibowo, menegaskan bahwa sistem credit scoring tidak lagi bisa bersifat statis dan hanya berorientasi pada riwayat kredit konvensional. Di era digital, di mana keputusan pinjaman perlu diambil dalam hitungan detik, penyedia informasi kredit harus hadir sebagai infrastruktur analitik
yang responsif, terpercaya, dan mampu menyerap berbagai sumber data alternatif.

“CBI mendorong pendekatan Dynamic Analytics Innovation—yakni pengembangan sistem credit scoring yang tidak hanya akurat dalam penilaian risiko, tetapi juga adaptif terhadap perubahan perilaku digital nasabah.

Kami memanfaatkan machine
learning, predictive scoring, hingga data perilaku digital untuk membangun insight
yang kontekstual dan relevan bagi industri,” jelas Anton.

“Dengan sistem kami, penyelenggara LPBBTI dapat menjalankan proses verifikasi, evaluasi risiko, dan monitoring portofolio dengan lebih efisien. Lebih dari itu, kami juga mendukung upaya OJK dalam meningkatkan kualitas pengawasan berbasis data, termasuk integrasi dengan pelaporan regulator dan sertifikasi keamanan informasi,” tambahnya.

APiiK: Kolaborasi Jadi Kunci Infrastruktur Risiko Digital Dukungan terhadap penguatan peran biro kredit juga disuarakan oleh APiiK (Asosiasi
Pengelola Informasi Kredit). Dalam paparannya, perwakilan APiiK menyampaikan bahwa lembaga pengelola informasi kredit kini telah berevolusi menjadi infrastruktur krusial dalam
pengambilan keputusan digital lending, dengan standar sistem, keamanan, dan kecepatan yang mendukung proses real-time approval dan pengambilan keputusan risiko secara otomatis.

APiiK menyoroti bahwa keandalan sistem informasi kredit menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan industri. Penyedia informasi kredit kini tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi juga membangun integrasi dengan data e-KYC, e-commerce, telco,behavior digital, dan sistem internal penyelenggara LPBBTI untuk membentuk credit scoring
yang adaptif terhadap setiap segmen pinjaman—dari mikro hingga invoice financing.

“Kami menyambut baik mandat POJK 40/2024 yang mewajibkan penyelenggara
LPBBTI untuk menggunakan data pihak ketiga yang relevan dalam credit scoring.

Hal ini sejalan dengan komitmen kami untuk menjadi mitra strategis yang
mendukung bukan hanya compliance, tetapi juga transformasi kualitas pembiayaan digital,” ujar perwakilan APiiK.

Dalam bahan tayangnya, APiiK juga mengusulkan pembentukan forum kolaboratif antara regulator, LPBBTI, dan LPIP sebagai sarana penyelarasan roadmap teknologi, SLA layanan,
serta penyusunan standar interoperabilitas data untuk mendorong efisiensi dan akurasi credit scoring nasional.

Industri Menuju Credit Scoring Inklusif dan Presisi Risiko Lebih jauh, hasil diskusi menyimpulkan bahwa tantangan utama credit scoring ke depan adalah
menjangkau kelompok unbanked dan underserved yang belum tercatat dalam sistem kredit formal. Di sinilah biro kredit dituntut untuk menyajikan model penilaian yang fleksibel namun tetap andal. Model berbasis behavioral scoring, device analysis, dan telco footprint menjadi pilar
dalam membangun sistem yang inklusif, terutama untuk segmen pinjaman mikro.

Dengan dukungan biro kredit, LPBBTI juga diharapkan dapat mengembangkan fitur seperti early warning system, pengelolaan limit dinamis, dan penyesuaian harga berbasis risiko (risk-based pricing), yang dapat menekan tingkat default dan meningkatkan efisiensi bisnis.
Previous Post Next Post